Selasa, 28 Februari 2012

Wanita, pers, dan Cinta

Kini Najwa fokus pada program terbarunya
Dua hal menarik terjadi pada bulan Februari, peringatan hari pers nasional pada 9 Februari dan hari valentine pada 14 Februari. Valentine yang identik dengan cinta dan kasih sayang. Banyak cerita cinta kehidupan yang melibatkan wanita di lingkup pers. Baik wanita sebagai sumber berita, wanita sebagai jurnalis maupun wanita sebagai pebisnis yang bergerak di bidang pers.

Di antara banyak cerita itu, kami tampilkan tiga wanita terpilih, yakni Prita Mulyasari, seorang wanita yang dibela pers, Najwa Shihab yang populer karena tugas menempatkannya di depan layar, dan Sari Narulita dengan suka-dukanya mengelola bisnis pers.

Najwa Shihab
Saya Jurnalis, Bukan Artis
Cantik, berparas menarik, penampilannya memukau publik.

Ya, nama Najwa Shihab populer sejak didaulat sebagai presenter berita Metro TV. Kehadirannya dalam berbagai acara dialog dan debat, menegaskan figurnya yang tak hanya cantik, namun juga cerdas.

Pelukan Seorang Ibu
                Melalui berbagai tayangan di teve, sosok Najwa semakin dikenal. Nana, begitu ia biasa disapa, tak bisa memungkiri bahwa dirinya menjadi perhatian publik bak selebritis. Namun, ia tak ingin disamakan dengan selebritis lainnya.
                “Kalau dibilang senang, ya senang. Sekarang orang mengenal saya. Kalau lagi jalan-jalan di mal misalnya, suka dipanggil ’Mata Najwa’, hehehw.... Tapi, saya agak risih kalau disamakan dengan artis atau bintang lainnya. Saya sama dengan wartawan lain. Cuma karena ranah saya di televisi, memungkinkan saya untuk dikenal orang. Itu kelebihannya,” ucap Nana.
“Saya lebih suka kalau ketemu di jalan, mereka tertarik pada program-program saya. Lebih suka kalau mereka terprovokasi berita-berita saya, bertanya tentang sebuah berita atau bagaimana kelanjutan Mata Najwa minggu depan, mau membahas apa lagi. Jadi, ada dialog dan pembicaraan, saling bertukar pikiran. Itu malah yang membuat saya senang,” lanjut Nana, tersenyum.
                Kepiawaian dan profesionalitas Nana dalam bekerja semakin memberikan kesan pada banyak orang. Itu terasakan, manakala Nana sering diminta foto bersama penggemarnya, dikirimi surat, ditelpon, hingga dilamar oleh seseorang.
                “Ya, jadi ada yang sampai melamar aku. Hehehe.... Tapi itu sudah agak lama. Yang mengesankan buat saya ketika ada seorang Ibu datang ke kantor, mau memeluk saya karena ada keluarganya yang meninggal di Aceh. Ibu itu melihat laporan berita saya waktu di Aceh dan hatinya tersentuh. Selain itu, ada juga yang datang sambil membawa pusi, membawa makanan, mengirimkan buku. Ya, saya anggap itu semua adalah bentuk perhatian karena mereka mau berbagi dengan saya,” cerita wanita kelahiran Makassar, Sulawesi selatan, 16 September 1977.

Strategi Itu Perlu
            Selain menjadi presenter Metro TV, Nana disibukkan dengan menjadi produser eksekutif program Mata Najwa, sebuah program yang tayang sejak 2009. Di luar itu, sesekali Nana menjadi pembicara, moderator, atau memberikan kuliah umum pada mahasiswa.
“Tugas utama di Metro TV. Terlebih Mata Najwa. Kami punya tim, dan saya bertugas sebagai penanggung jawab. Semua, saya yang menentukan,” ucap Nana.
                Bagi Nana, menjadi seorang jurnalis di depan layar memberikan kesan tersendiri. Ia ingat dilanda rasa gugup ketika pertama kali berhadapan dengan kamera. Tetapi, pengalamannya sebagai reporter menempanya untuk percaya diri ketika menjadi news anchor.
“Di lapangan sangat berbeda dengan di studio. Di lapangan, kami harus melaporkan langsung. Itu yang sulit, kemampuan bercerita kami diuji. Awalnya gugup banget, tapi karena pengalaman berhadapan dengan kamera, saya jadi terbiasa. Ada masa transisi di sini, dan itu yang membantu saya di studio. Di studio itu jauh lebih terkontrol, kita bisa disorot dari jarak dekat. Awalnya aneh melihat wajah sendiri di kamera,” kenang Nana, tertawa lepas.
Menurut putri kedua Quraish Shihab, Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII, tantangan terbesarnya kali ini ialah mengemas Mata Najwa menjadi perbincangan menarik dan tetap menghibur. Apalagi saat ini, masyarakat lebih sering menikmati tontonan sinema elektronik (sinetron) daripada acara bertema politik.
“Sekarang ini sangat banyak talkshow. Di Metro TV sendiri sudah banyak. Apalagi masyarakat sendiri lebih suka menonton sinetron dan gosip. Jadi, ini tantangan buat saya mengemas Mata Najwa supaya menarik. Supaya ketika mereka selesai menonton, mereka bisa menarik napas, senang, dan dapat pencerahan. Terlebih selama satu jam itu, mereka tidak pindah channel,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Strategi Nana adalah, “Kami mengangkat angle atau sudut pandang yang lain. Tamu yang hadir juga berbeda. Kalaupun sama, pertanyaannya berbeda. Kami kemas gambar yang berbeda. Beruntung Mata Najwa seminggu sekali tayang, jadi kami punya waktu untuk riset. Semakin banyak riset, semakin memungkinkan kami untuk menggali cara yang berbeda,” tutur Nana.

Sekolah Lagi
                Berkat profesinya ini, Nana sudah menapakkan kaki hingga mancanegara, di antaranya Mesir, Amerika, Jepang, Vietnam, Prancis, Swiss, dan hampir seluruh wilayah ASEAN. Ia lalui berbagai pengalaman dalam tugas reportase itu. Beberapa di antaranya meninggalkan kesan mendalam, misalnya saja ketika meliput kematian Ibu Ainun, istri Presiden Habibie.
“Waktu itu meliput kisah cinta Pak Habibie dengan Ibu. Walaupun sering wawancara Pak Habibie, tapi karena kemarin itu wawancaranya personal, rasanya melekat sekali. Pernah juga wawancara Anwar Ibrahim waktu dia keluar dari penjara. Meski beliau dalam kondisi kesakitan karena kabarnya sempat disiksa, tapi tetap menyambut saya dengan hangat dan mempersilahkan saya masuk ke tengah-tengah keluarga,” kenang Nana.
Hingga kini, Nana sudah meraih beragam prestasi. Sebut saja pada 2005, ia memperoleh penghargaan dari PWI Pusat dan PWI Jaya untuk laporan-laporannya dari Aceh. Tahun 2006 ia terpilih sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV, dan meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Dengan semua pencapaian itu, Nana tak lantas berbangga diri. Menurutnya masih banyak hal yang harus dikejar dan target yang belum tercapai.”Kalau dibandingkan dengan senior, apa yang saya sudah lakukan masih jauh. Tantangan masih banyak. Saya fokus pada Mata Najwa, program itu baru dua tahun. Saya merasa masih banyak yang bisa dioptimalkan.”
Nana mempunyai keinginan untuk sekolah lagi. ”Anak-anak Abi (ayah) kan belum ada yang jadi doktor, jadi saya ingin sekolah lagi,” kata Nana, senang.

Prita Mulyasari
Mereka Menyentuh Secara Personal
Berkat dukungan pers, Prita Mulyasari mendapat simpati dari masyarakat luas hingga akhirnya terbebas dari masalah.

                Masih ingatkah dalam benak Anda, kasus Prita vs. RS Omni beberapa tahun silam? Seumur hidup, Prita mungkin tak pernah menyangka, gara-gara curahan hatinya tentang kinerja RS Omni di dunia maya, ia harus masuk penjara karena dituduh mencemarkan nama baik.
                Prita sendiri mengaku, tak tahu bagaimana ini semua berawal, bagaimana peristiwa yang dialaminya menggemparkan publik. Ketika itu, dirinya masih di penjara sehingga terisolir dari kejadian di luar bilik penjara.
                “Di dalam penjara, menonton teve dibatasi. Lagipula teve cuma satu, sedangkan yang di dalam blok itu banyak sekali. Tidak mungkin juga mereka mau menonton berita. Mending menonton hiburan. Keluargapun hanya diperbolehkan mengunjungi saya, dua kali seminggu. Saya benar-benar terisolir,” ujar wanita yang kini bekerja di salah satu perusahaan asuransi.
                “Saya benar-benar tidak tahu kalau di luar sana, media sedang membicarakan saya. Saya baru tahu ketika saya mau keluar dari penjara. Ternyata di luar sudah ramai oleh berbagai media. Ada yang dari pihak Dewan Pers, ada dari pihak Komnas HAM, dan ada Ibu Megawati (Soekarnoputri)juga. Saat itu saya masih bingung, ada apa ya, kok ramai sekali,” kenang Prita. Ia kelahiran Jakarta 27 Maret 1977.

Anak Saya Merasa Nyaman
                Pengalaman luar biasa baginya, mendapat dukungan dari segenap insan media. Belum lagi sejak keluar dari penjara, dirinya harus siap didatangi berbagai media yang ingin mendapatkan kelengkapan cerita darinya.
                “Ketika itu saya senang bisa berkumpul dengan keluarga. Senang, teman-teman media banyak yang mendukung saya. Saya melihat meraka seperti teman. Mereka sudah menolong saya. Ada andil dari teman-teman media. Kalau saya masih mampu melayani setiap pertanyaan mereka, saya layani, “ ujar Ibu tiga anak ini.
                Prita mengagumi perjuangan para wartawan yang datang untuk menemuinya. Ia terkesan ketika menjumpai sejumlah wartawan yang sudah menunggunya pulang.
                “Hmm, ada satu media yang membuat saya terkesan sekali. Jadi, teman-teman dari media itu, sampai melakukan pendekatan ke anak-anak saya, sehingga anak-anak saya mau difoto. Padahal tidak mudah mengajak mereka untuk difoto. Bahkan anak-anak saya merasa nyaman dan mau berbagi cerita dengan mereka. Saya melihat mereka menyentuh secara personal,” kenang Prita.
                Saat ini Prita masih belum mendapat kejelasan status hukum. Sebab sejak keluar dari penjara pada 2009, Prita kembali dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Prita hanya bisa pasrah dan menunggu. Terselip kesedihan kecil dari dirinya karena ia sudah tak mendapat dukungan lagi dari media.
                “Ya, saya mengerti. Kalau ada suatu pemberitaan, pasti akan fokus disitu. Tapi kalau ada pemberitaan lain yang lebih baru, pasti mereka akan pindah fokus pada yang lebih baru itu. Bagaimanapun saya senang karena saya sudah dibantu oleh teman-teman media. Kalau tidak ada mereka, saya tidak tahu apa yang akan menimpa saya. Saya berharap pada teman-teman media, masih banyak warga masyarakat yang belum tersentuh media. Kasus-kasus seperti saya masih banyak. Petinggi di sini, tidak akan tahu apa yang terjadi pada rakyatnya kalau tidak ada media. Mudah-mudahan wartawan sering menginformasikan apa yang terjadi di masyarakat,” harap Prita, tersenyum.


Di waktu senggang, hobinya berkebun
Sari Narulita
Sempat Ditolak karena Artis

            Berawal dari sebuah penolakan, justru menjadi cambuk dan ajang pembuktiannya untuk meniti karir di dunia jurnalistik. Terbukti kini ia membawahi tiga majalah besar

                Lewat tangan-tangan penuh talentanya, Sari Narulita kini menjadi group editoring chief untuk majalah Her World, Bride, dan Maxim. Hanya saja, karena majalah Maxim diperuntukkan bagi kaum pria, Sari tak terlalu terlibat jauh. Perannya hanya memastikan agar konten tak keluar dari jalur.
Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, namun semangatnya tak pernah pudar ketika berbicara mengenai serba-serbi dunia tulis menulis. Penampilannya pun anggun, terlihat terampil menunjukkan bagaimana seseorang wanita harus berdandan dengan baik..

Berawal dari Festival Film di Taipeh
Sari yang pada mulanya berprofesi menjadi artis, mungkin tak pernah membayangkan akan jatuh cinta pada dunia jurnalistik, dunia yang kini melambungkan namanya. Perjumpaannya pada dunia ini, berawal dari kepergiannya ke sebuah festival film di Taipeh. Ketika itu, ia diminta oleh seorang wartawan majalah Sonata, sebuah majalah film dan musik untuk menuliskan tentang festival tersebut secara nyata dari kacamata seorang artis.
Mengetahui banyak masyarakat yang menyambut tulisannya secara positif, lantas Saripun perlahan-lahan mulai tertarik untuk menulis hingga ditawari untuk mengisi rubrik majalah.
“Waktu itu saya bilang ke mereka kalau tidak menarik begini terus. Saya lantas menawarkan satu rubrik, yakni rubrik Kencan. Isinya wawancara dengan artis-artis. Karena saya sendiri adalah orang film, jadi saya mendapat kemudahan untuk wawancara artis,” ucap Sari ketika ditemui di Kantor Her World di bilangan Kuningan, Selasa 14/2 silam.
Jatuh cinta pada menulis saja tak cukup bagi Sari. Salah satu motivasi terbesarnya untuk terus bergelut dalam dunia jurnalistik ialah karena adanya sebuah penolakan
”Pada saat saya terjun ke dunia jurnalistik, saya serius ingin belajar. Waktu itu yang menyelenggarakan trainning atau seminar adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Apalagi ketika itu PWI bagaikan dewanya pers, berjaya sekali. Lantas saya tertarik ingin jadi anggota. Namun ada komentar dari Rosihan Anwar yang membuat saya sakit. Karena saya artis, saya dianggap ingin cari sensasi, publikasi untuk menaikkan nama saya. maka, saya janji sama diri saya sendiri. I’ll show you someday. Saya akan sampai ke tingat yang paling atas,” kenang Sari tersenyum.

Lika-liku Dunia Pers
                Dari sini, Sari menjadi kontributor di berbagai majalah. Bahkan berkat kepiawaiannya, ia dipercaya untuk menjad redaktur bahkan pemimpin redaksi untuk majalah besar, antara lain Majalah Sarinah, Pertiwi, hingga Cosmopolitan. Sampai pada tahun 2000, Sari memantapkan hati untuk membeli franchise majalah Her World, yang berpusat di Singapura.
                Sari boleh beruntung, sebab sebelum berada di titik ini, ia mendapatkan bekal pelatihan yang cukup untuk mendirikan sebuah perusahaan pers. “Saya belajar dari berbagai seminar waktu di Cosmo, saya mendapat trainning di Amerika. Ketika mau mengambil franchise Her World, saya juga dapat trainning. Sebelumnya, waktu saya masih bekerja di salon BB&C, saya juga mendapat franchise trainning di Paris. Ini adalah cikal bakal ilmu yang s ya dapatkan. Disamping saya juga ada stakeholder yang mendukung saya,” tutur Sari.
                Untuk mendirikan perusahaan media, bukan perkara mudah. Sari sendiri mengaku ia kesulitan dalam hal sumber daya manusia. Namun ia bersyukur kini banyak orang muda yang memiliki kreativitas dan semangat untuk maju.
Tantangan terbesar Sari kali ini ialah daya persaingan yang semakin tinggi. Diawal tahun 2000, baru bermunculan 200 nama majalah. Kini, sudah mencapai lebih dari 1000. Itu artinya, Sari harus menggali sesuatu yang berbeda agar tetap bertahan di industri media.
“Kita harus bersaing dalam arti sehat, peka, dan jeli melihat momentum artikel yang menarik. Satu hal yang membuat saya sedih, ketika saya mendidik mereka dan ketika mereka sudah menguasai dengan baik, mereka mendapatkan tawaran di tempat lain dan pergi. Sebagai pimpinan, we are happy for them, karena mereka berkembang. Di sisi lain ada perasaan kehilangan pada diri saya, mereka sudah saya anggap anak,” ucap ibu empat anak ini.
Istri dari Budi Moealam ini juga tak gentar menghadapi tantangan. Meski saat ini media online sedang berada di atas angin, namun Sari tak pernah merasa getir.
”Caranya, we have to live it. Hadapi bukan dihindari. Surviver adalah mereka yang bisa bertahan terhadap lingkungan, bukan orang yang paling kuat. Dari sinilah seseorang harus bisa beradaptasi agar terus bertahan. Tinggal dari sisi mana kita melihatnya. Itu adalah kemajuan teknologi dan kita tidak bisa  menghentikan ini. K edepan, kita memang sudah mempunyai rencana ke situ. Tapi saya rasa  saat ini orang masih suka membolak-balik majalah. We never too old to learn. Belajar bisa kapanpun, dan kepada siapapun meski kepada mereka yang muda. Yang jelas kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan,” Sari berprinsip.

au revoir