Selasa, 28 Februari 2012

Wanita, pers, dan Cinta

Kini Najwa fokus pada program terbarunya
Dua hal menarik terjadi pada bulan Februari, peringatan hari pers nasional pada 9 Februari dan hari valentine pada 14 Februari. Valentine yang identik dengan cinta dan kasih sayang. Banyak cerita cinta kehidupan yang melibatkan wanita di lingkup pers. Baik wanita sebagai sumber berita, wanita sebagai jurnalis maupun wanita sebagai pebisnis yang bergerak di bidang pers.

Di antara banyak cerita itu, kami tampilkan tiga wanita terpilih, yakni Prita Mulyasari, seorang wanita yang dibela pers, Najwa Shihab yang populer karena tugas menempatkannya di depan layar, dan Sari Narulita dengan suka-dukanya mengelola bisnis pers.

Najwa Shihab
Saya Jurnalis, Bukan Artis
Cantik, berparas menarik, penampilannya memukau publik.

Ya, nama Najwa Shihab populer sejak didaulat sebagai presenter berita Metro TV. Kehadirannya dalam berbagai acara dialog dan debat, menegaskan figurnya yang tak hanya cantik, namun juga cerdas.

Pelukan Seorang Ibu
                Melalui berbagai tayangan di teve, sosok Najwa semakin dikenal. Nana, begitu ia biasa disapa, tak bisa memungkiri bahwa dirinya menjadi perhatian publik bak selebritis. Namun, ia tak ingin disamakan dengan selebritis lainnya.
                “Kalau dibilang senang, ya senang. Sekarang orang mengenal saya. Kalau lagi jalan-jalan di mal misalnya, suka dipanggil ’Mata Najwa’, hehehw.... Tapi, saya agak risih kalau disamakan dengan artis atau bintang lainnya. Saya sama dengan wartawan lain. Cuma karena ranah saya di televisi, memungkinkan saya untuk dikenal orang. Itu kelebihannya,” ucap Nana.
“Saya lebih suka kalau ketemu di jalan, mereka tertarik pada program-program saya. Lebih suka kalau mereka terprovokasi berita-berita saya, bertanya tentang sebuah berita atau bagaimana kelanjutan Mata Najwa minggu depan, mau membahas apa lagi. Jadi, ada dialog dan pembicaraan, saling bertukar pikiran. Itu malah yang membuat saya senang,” lanjut Nana, tersenyum.
                Kepiawaian dan profesionalitas Nana dalam bekerja semakin memberikan kesan pada banyak orang. Itu terasakan, manakala Nana sering diminta foto bersama penggemarnya, dikirimi surat, ditelpon, hingga dilamar oleh seseorang.
                “Ya, jadi ada yang sampai melamar aku. Hehehe.... Tapi itu sudah agak lama. Yang mengesankan buat saya ketika ada seorang Ibu datang ke kantor, mau memeluk saya karena ada keluarganya yang meninggal di Aceh. Ibu itu melihat laporan berita saya waktu di Aceh dan hatinya tersentuh. Selain itu, ada juga yang datang sambil membawa pusi, membawa makanan, mengirimkan buku. Ya, saya anggap itu semua adalah bentuk perhatian karena mereka mau berbagi dengan saya,” cerita wanita kelahiran Makassar, Sulawesi selatan, 16 September 1977.

Strategi Itu Perlu
            Selain menjadi presenter Metro TV, Nana disibukkan dengan menjadi produser eksekutif program Mata Najwa, sebuah program yang tayang sejak 2009. Di luar itu, sesekali Nana menjadi pembicara, moderator, atau memberikan kuliah umum pada mahasiswa.
“Tugas utama di Metro TV. Terlebih Mata Najwa. Kami punya tim, dan saya bertugas sebagai penanggung jawab. Semua, saya yang menentukan,” ucap Nana.
                Bagi Nana, menjadi seorang jurnalis di depan layar memberikan kesan tersendiri. Ia ingat dilanda rasa gugup ketika pertama kali berhadapan dengan kamera. Tetapi, pengalamannya sebagai reporter menempanya untuk percaya diri ketika menjadi news anchor.
“Di lapangan sangat berbeda dengan di studio. Di lapangan, kami harus melaporkan langsung. Itu yang sulit, kemampuan bercerita kami diuji. Awalnya gugup banget, tapi karena pengalaman berhadapan dengan kamera, saya jadi terbiasa. Ada masa transisi di sini, dan itu yang membantu saya di studio. Di studio itu jauh lebih terkontrol, kita bisa disorot dari jarak dekat. Awalnya aneh melihat wajah sendiri di kamera,” kenang Nana, tertawa lepas.
Menurut putri kedua Quraish Shihab, Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII, tantangan terbesarnya kali ini ialah mengemas Mata Najwa menjadi perbincangan menarik dan tetap menghibur. Apalagi saat ini, masyarakat lebih sering menikmati tontonan sinema elektronik (sinetron) daripada acara bertema politik.
“Sekarang ini sangat banyak talkshow. Di Metro TV sendiri sudah banyak. Apalagi masyarakat sendiri lebih suka menonton sinetron dan gosip. Jadi, ini tantangan buat saya mengemas Mata Najwa supaya menarik. Supaya ketika mereka selesai menonton, mereka bisa menarik napas, senang, dan dapat pencerahan. Terlebih selama satu jam itu, mereka tidak pindah channel,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Strategi Nana adalah, “Kami mengangkat angle atau sudut pandang yang lain. Tamu yang hadir juga berbeda. Kalaupun sama, pertanyaannya berbeda. Kami kemas gambar yang berbeda. Beruntung Mata Najwa seminggu sekali tayang, jadi kami punya waktu untuk riset. Semakin banyak riset, semakin memungkinkan kami untuk menggali cara yang berbeda,” tutur Nana.

Sekolah Lagi
                Berkat profesinya ini, Nana sudah menapakkan kaki hingga mancanegara, di antaranya Mesir, Amerika, Jepang, Vietnam, Prancis, Swiss, dan hampir seluruh wilayah ASEAN. Ia lalui berbagai pengalaman dalam tugas reportase itu. Beberapa di antaranya meninggalkan kesan mendalam, misalnya saja ketika meliput kematian Ibu Ainun, istri Presiden Habibie.
“Waktu itu meliput kisah cinta Pak Habibie dengan Ibu. Walaupun sering wawancara Pak Habibie, tapi karena kemarin itu wawancaranya personal, rasanya melekat sekali. Pernah juga wawancara Anwar Ibrahim waktu dia keluar dari penjara. Meski beliau dalam kondisi kesakitan karena kabarnya sempat disiksa, tapi tetap menyambut saya dengan hangat dan mempersilahkan saya masuk ke tengah-tengah keluarga,” kenang Nana.
Hingga kini, Nana sudah meraih beragam prestasi. Sebut saja pada 2005, ia memperoleh penghargaan dari PWI Pusat dan PWI Jaya untuk laporan-laporannya dari Aceh. Tahun 2006 ia terpilih sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV, dan meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Dengan semua pencapaian itu, Nana tak lantas berbangga diri. Menurutnya masih banyak hal yang harus dikejar dan target yang belum tercapai.”Kalau dibandingkan dengan senior, apa yang saya sudah lakukan masih jauh. Tantangan masih banyak. Saya fokus pada Mata Najwa, program itu baru dua tahun. Saya merasa masih banyak yang bisa dioptimalkan.”
Nana mempunyai keinginan untuk sekolah lagi. ”Anak-anak Abi (ayah) kan belum ada yang jadi doktor, jadi saya ingin sekolah lagi,” kata Nana, senang.

Prita Mulyasari
Mereka Menyentuh Secara Personal
Berkat dukungan pers, Prita Mulyasari mendapat simpati dari masyarakat luas hingga akhirnya terbebas dari masalah.

                Masih ingatkah dalam benak Anda, kasus Prita vs. RS Omni beberapa tahun silam? Seumur hidup, Prita mungkin tak pernah menyangka, gara-gara curahan hatinya tentang kinerja RS Omni di dunia maya, ia harus masuk penjara karena dituduh mencemarkan nama baik.
                Prita sendiri mengaku, tak tahu bagaimana ini semua berawal, bagaimana peristiwa yang dialaminya menggemparkan publik. Ketika itu, dirinya masih di penjara sehingga terisolir dari kejadian di luar bilik penjara.
                “Di dalam penjara, menonton teve dibatasi. Lagipula teve cuma satu, sedangkan yang di dalam blok itu banyak sekali. Tidak mungkin juga mereka mau menonton berita. Mending menonton hiburan. Keluargapun hanya diperbolehkan mengunjungi saya, dua kali seminggu. Saya benar-benar terisolir,” ujar wanita yang kini bekerja di salah satu perusahaan asuransi.
                “Saya benar-benar tidak tahu kalau di luar sana, media sedang membicarakan saya. Saya baru tahu ketika saya mau keluar dari penjara. Ternyata di luar sudah ramai oleh berbagai media. Ada yang dari pihak Dewan Pers, ada dari pihak Komnas HAM, dan ada Ibu Megawati (Soekarnoputri)juga. Saat itu saya masih bingung, ada apa ya, kok ramai sekali,” kenang Prita. Ia kelahiran Jakarta 27 Maret 1977.

Anak Saya Merasa Nyaman
                Pengalaman luar biasa baginya, mendapat dukungan dari segenap insan media. Belum lagi sejak keluar dari penjara, dirinya harus siap didatangi berbagai media yang ingin mendapatkan kelengkapan cerita darinya.
                “Ketika itu saya senang bisa berkumpul dengan keluarga. Senang, teman-teman media banyak yang mendukung saya. Saya melihat meraka seperti teman. Mereka sudah menolong saya. Ada andil dari teman-teman media. Kalau saya masih mampu melayani setiap pertanyaan mereka, saya layani, “ ujar Ibu tiga anak ini.
                Prita mengagumi perjuangan para wartawan yang datang untuk menemuinya. Ia terkesan ketika menjumpai sejumlah wartawan yang sudah menunggunya pulang.
                “Hmm, ada satu media yang membuat saya terkesan sekali. Jadi, teman-teman dari media itu, sampai melakukan pendekatan ke anak-anak saya, sehingga anak-anak saya mau difoto. Padahal tidak mudah mengajak mereka untuk difoto. Bahkan anak-anak saya merasa nyaman dan mau berbagi cerita dengan mereka. Saya melihat mereka menyentuh secara personal,” kenang Prita.
                Saat ini Prita masih belum mendapat kejelasan status hukum. Sebab sejak keluar dari penjara pada 2009, Prita kembali dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Prita hanya bisa pasrah dan menunggu. Terselip kesedihan kecil dari dirinya karena ia sudah tak mendapat dukungan lagi dari media.
                “Ya, saya mengerti. Kalau ada suatu pemberitaan, pasti akan fokus disitu. Tapi kalau ada pemberitaan lain yang lebih baru, pasti mereka akan pindah fokus pada yang lebih baru itu. Bagaimanapun saya senang karena saya sudah dibantu oleh teman-teman media. Kalau tidak ada mereka, saya tidak tahu apa yang akan menimpa saya. Saya berharap pada teman-teman media, masih banyak warga masyarakat yang belum tersentuh media. Kasus-kasus seperti saya masih banyak. Petinggi di sini, tidak akan tahu apa yang terjadi pada rakyatnya kalau tidak ada media. Mudah-mudahan wartawan sering menginformasikan apa yang terjadi di masyarakat,” harap Prita, tersenyum.


Di waktu senggang, hobinya berkebun
Sari Narulita
Sempat Ditolak karena Artis

            Berawal dari sebuah penolakan, justru menjadi cambuk dan ajang pembuktiannya untuk meniti karir di dunia jurnalistik. Terbukti kini ia membawahi tiga majalah besar

                Lewat tangan-tangan penuh talentanya, Sari Narulita kini menjadi group editoring chief untuk majalah Her World, Bride, dan Maxim. Hanya saja, karena majalah Maxim diperuntukkan bagi kaum pria, Sari tak terlalu terlibat jauh. Perannya hanya memastikan agar konten tak keluar dari jalur.
Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, namun semangatnya tak pernah pudar ketika berbicara mengenai serba-serbi dunia tulis menulis. Penampilannya pun anggun, terlihat terampil menunjukkan bagaimana seseorang wanita harus berdandan dengan baik..

Berawal dari Festival Film di Taipeh
Sari yang pada mulanya berprofesi menjadi artis, mungkin tak pernah membayangkan akan jatuh cinta pada dunia jurnalistik, dunia yang kini melambungkan namanya. Perjumpaannya pada dunia ini, berawal dari kepergiannya ke sebuah festival film di Taipeh. Ketika itu, ia diminta oleh seorang wartawan majalah Sonata, sebuah majalah film dan musik untuk menuliskan tentang festival tersebut secara nyata dari kacamata seorang artis.
Mengetahui banyak masyarakat yang menyambut tulisannya secara positif, lantas Saripun perlahan-lahan mulai tertarik untuk menulis hingga ditawari untuk mengisi rubrik majalah.
“Waktu itu saya bilang ke mereka kalau tidak menarik begini terus. Saya lantas menawarkan satu rubrik, yakni rubrik Kencan. Isinya wawancara dengan artis-artis. Karena saya sendiri adalah orang film, jadi saya mendapat kemudahan untuk wawancara artis,” ucap Sari ketika ditemui di Kantor Her World di bilangan Kuningan, Selasa 14/2 silam.
Jatuh cinta pada menulis saja tak cukup bagi Sari. Salah satu motivasi terbesarnya untuk terus bergelut dalam dunia jurnalistik ialah karena adanya sebuah penolakan
”Pada saat saya terjun ke dunia jurnalistik, saya serius ingin belajar. Waktu itu yang menyelenggarakan trainning atau seminar adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Apalagi ketika itu PWI bagaikan dewanya pers, berjaya sekali. Lantas saya tertarik ingin jadi anggota. Namun ada komentar dari Rosihan Anwar yang membuat saya sakit. Karena saya artis, saya dianggap ingin cari sensasi, publikasi untuk menaikkan nama saya. maka, saya janji sama diri saya sendiri. I’ll show you someday. Saya akan sampai ke tingat yang paling atas,” kenang Sari tersenyum.

Lika-liku Dunia Pers
                Dari sini, Sari menjadi kontributor di berbagai majalah. Bahkan berkat kepiawaiannya, ia dipercaya untuk menjad redaktur bahkan pemimpin redaksi untuk majalah besar, antara lain Majalah Sarinah, Pertiwi, hingga Cosmopolitan. Sampai pada tahun 2000, Sari memantapkan hati untuk membeli franchise majalah Her World, yang berpusat di Singapura.
                Sari boleh beruntung, sebab sebelum berada di titik ini, ia mendapatkan bekal pelatihan yang cukup untuk mendirikan sebuah perusahaan pers. “Saya belajar dari berbagai seminar waktu di Cosmo, saya mendapat trainning di Amerika. Ketika mau mengambil franchise Her World, saya juga dapat trainning. Sebelumnya, waktu saya masih bekerja di salon BB&C, saya juga mendapat franchise trainning di Paris. Ini adalah cikal bakal ilmu yang s ya dapatkan. Disamping saya juga ada stakeholder yang mendukung saya,” tutur Sari.
                Untuk mendirikan perusahaan media, bukan perkara mudah. Sari sendiri mengaku ia kesulitan dalam hal sumber daya manusia. Namun ia bersyukur kini banyak orang muda yang memiliki kreativitas dan semangat untuk maju.
Tantangan terbesar Sari kali ini ialah daya persaingan yang semakin tinggi. Diawal tahun 2000, baru bermunculan 200 nama majalah. Kini, sudah mencapai lebih dari 1000. Itu artinya, Sari harus menggali sesuatu yang berbeda agar tetap bertahan di industri media.
“Kita harus bersaing dalam arti sehat, peka, dan jeli melihat momentum artikel yang menarik. Satu hal yang membuat saya sedih, ketika saya mendidik mereka dan ketika mereka sudah menguasai dengan baik, mereka mendapatkan tawaran di tempat lain dan pergi. Sebagai pimpinan, we are happy for them, karena mereka berkembang. Di sisi lain ada perasaan kehilangan pada diri saya, mereka sudah saya anggap anak,” ucap ibu empat anak ini.
Istri dari Budi Moealam ini juga tak gentar menghadapi tantangan. Meski saat ini media online sedang berada di atas angin, namun Sari tak pernah merasa getir.
”Caranya, we have to live it. Hadapi bukan dihindari. Surviver adalah mereka yang bisa bertahan terhadap lingkungan, bukan orang yang paling kuat. Dari sinilah seseorang harus bisa beradaptasi agar terus bertahan. Tinggal dari sisi mana kita melihatnya. Itu adalah kemajuan teknologi dan kita tidak bisa  menghentikan ini. K edepan, kita memang sudah mempunyai rencana ke situ. Tapi saya rasa  saat ini orang masih suka membolak-balik majalah. We never too old to learn. Belajar bisa kapanpun, dan kepada siapapun meski kepada mereka yang muda. Yang jelas kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan,” Sari berprinsip.

au revoir

Jumat, 06 Januari 2012

Stand up comedy Dulu Sepi, Sekarang Dicari

suasana comedy caffe setiap rabu malam
Setelah usahanya yang teah sekian lama, Ramon kini pantas berbangga
Abigail lebih percaya diri menggunakan bhs inggris
Memancing tawa dengan mengandalkan kebodohan dan tampang blo’on,  dan aneka komedi slapstik lain yang cenderung kasar,  masih marak di panggung komedi kita. Kehadiran Stand Up Comedy memberi warna lain yang tak kalah menghibur.
       Ada seorang anak laki-laki, tampan, bergaya necis, dan selalu membawa BB kemana-mana. Demam bermain twitter agaknya juga menghinggapi dirinya. Setiap hari, setiap saat, dia selalu ngetweet tentang kabar terbarunya. Padahal dia hanya memiliki 4 followers. Bapaknya, ibunya, kakek dan neneknya. Suatu hari ibunya menelpon. “Nak kamu dimana? Cepat pulang. Nenek mu meninggal”. Lalu si anak menjawab dengan tersedu-sedu. “Hah? Apa Mah?? Hiks.. Itu nggak mungkin.. Aku nggk siap..hiks”. Sang ibupun heran. “Halah, tumben kamu ngomong begitu, biasanya juga kalau Nenek datang, kamu cuekin”. Spontan si anak menjawab “Bukan, Mah..tapi aku nggak siap, followers ku berkurang satu…
Mendengar lawakan yg dilontarkan oleh sang comic (pelaku stand up comedy), spontan seluruh penonton yang hadir, tertawa terpingkal-pingkal. Ya…akhir-akhir ini seni melawak dengan gaya monolog sedang disukai. Dari kafe hingga stasiun televisi, para comic berlomba-lomba menjadi yang terjago mengocok perut pendengar dengan melawak seorang diri di atas panggung. Jika dirunut ke belakang, komedi jenis ini sangat sepi peminat karena kurang populer dengan lawakan genre lainnya di Indonesia.

Bukan Lawak Tunggal
Rabu malam di sebuah cafe yang ukurannya tidak terlalu besar. Duasana begitu penuh sesak, nyaris berjejalan antara sesama pengunjung lainnya. Terbilang padat, ironis dengan suasana yang hening. Perhatian mereka tertuju ke depan. Ke sebuah panggung yang didesain dengan latar tembok motif batu bata, satu microphone tegak lurus, dan bangku bar yang diletakkan di tengah-tengah. Di atas panggung, dipasang tirai merah dan lampu-lampu kecil pemeriah suasana.
Di panggung inilah, para comic melancarkan “aksi” mereka dalam menghibur penonton. Beberapa tampak grogi, beberapa tampil percaya diri. Setiap penampilan, para comic hanya diberi waktu lima menit untuk tampil. Sebagai penanda, bel kicauan burung akan berbunyi bila waktu tersebut usai. Itulah sedikit gambaran tentang suasana Comedi Caffe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan setiap Rabu malam.
Secara umum, stand up comedy merupakan seni melawak yang ditampilkan oleh seorang komedian di depan para penonton dan berbicara langsung di depan mereka. Para comic ini biasanya membawakan cerita singkat, jokes (disebut dengan “bits”), dan one-liners, yang lazim disebut aksi pertunjukkan monolog.
“Bahannya lebih pintar, elit, intelektual, dan sangat spesifik ke diri si comic sendiri. Apakah itu riwayat dia, pengalaman dia, atau sudut pandang dia. Karena stand up comedy indonesia belum murni terbentuk, jadi masih banyak yang ngomong jorok. Ngga papa, kita kan masih belajar. Tapi nantinya kita akan membentuk stand up comedy indonesia, baru disitu kita bikin peraturannya,” ucap Ramon P Tommybens, stand up comedian senior Indonesia.
“Tapi ada juga lawakan yang dibawakan satu orang tapi disebutnya lawak tunggal. Dan itu bukan stand up comedy. Kalau lawak tunggal, meskipun sendirian tapi yang dibawakan adalah bahan-bahan yang sering didengar,” lanjut Ramon.

Berjaya Setelah 14 Tahun
Melihat perkembangan stand up comedy yang semakin pesat akhir-akhir ini, boleh dibilang atas kerja keras Ramon yang tanpa henti mempromosikan stand up comedy ke masyarakat Indonesia. Kecintaannya yang begitu besar pada dunia komedi ini akirnya menghasilkan butir-butir pemikiran untuk mendirikan sebuah komedi kafe di Indonesia, tepatnya Jakarta.
“Stand Up Comedy terkenal bukan dari televisi. Tapi di bar atau tempat minum-minum biasa di Amerika. Suatu hari ada orang mabuk. Sambil setengah sadar dia bercerita tentang hal-hal lucu. Orang yang ada disitu pada mendengar dan ketawa. Lama-lama orang itu disuruh tampil lagi minggu depan dan mulai dikasih microphone. Jadilah comedy cafe. Tadinya cuma bar yang menyediakan hiburan kafe. Lalu berkembang jadi commedy cafe,” ungkap pria berkacamata ini.
Ketika kafe ini terwujud, bukan berarti semua selesai. Kendala yang dihadapi Ramon kemudian ialah tidak adanya respon dari masyarakat untuk berani ber-open mic di panggung. Hanya Ramon seorang dirilah yang tampil. Merasa jenuh, akhirnya Ramon menyuruh pegawainya yang berjumlah lebih dari 20 orang tampil satu-satu ke atas panggung.
Namanya juga hobi, jadi aku nggk gampang menyerah. Jadi ketika itu sepi, ya itu standar. Standarnya adalah aku masih bisa open mic sendirian. Pokoknya aku kekeh dari tahun 97 itu, setiap hari rabu jam 8 malam, tetap bikin open mic dan itu yang dipuji orang,” ucap pria kelahiran Jakarta, 1 April 1957 silam.
Setelah proses yang cukup panjang dan melelahkan, Ramon pantas berbahagia dan berbangga. Sebab, hari demi hari animo masyarakat terhadap stand up comedy semakin tinggi.
“Baru bulan Juni kemarin sudah makin bangkit komunitasnya. Mereka antusias banget untuk menggeluti dunia ini. Ada yang pingin jadi comic, ada yang cuma pingin jadi penyelenggaranya. Bahkan ada yang sudah show kemana-mana, tampil 10 menit dan dibayar 1-2 juta rupiah. Sekarang stand up comedy sangat menarik bagi orang muda. Bukan cuma menawarkan alternatif jenis hiburan baru tapi juga menawarkan profesi, sebuah job, pekerjaan,” tukas Ramon.
 
Abigail

Pede dengan Lawakan Bahasa Inggris

       Dari sekian penampilan para comic, Abigail Radhita Pratomo menjadi satu-satunya comic perempuan dan tampil dengan lawakan berbahasa Inggris

Menurutnya tampil dengan berbahasa inggris memang cenderung berisiko, sebab tak semua penonton bisa “mengerti” lawakan tersebut. Tetapi bagi Abigail, dirinya justru merasa  pede (percaya diri) dan lebih nyaman menggunakan bahasa inggris.

“Pertama kali aku stand up comedy, emang pake bahasa Inggris baru bahasa Indonesia. Ya memang ada ketakutan, tapi aku nggak pernah mikir mereka akan ngerti apa nggak. Hanya aku juga milih kata-kata yang bahasa Inggrisnya nggak ketinggian. Tapi kalau aku bisa membawa materi dengan baik, mereka pasti bisa tertawa kok,” ujar Abigail mantap


Buah Tak Jauh dari Pohon

Jika ada pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, mungkin tepat menggambarkan keadaannya saat ini. Abigail muda, penuh energik, dan penampilannya penuh percaya diri. Anak kedua dari Ramon ini memang telah dibiasakan “sense of comedy” dari kecil oleh sang ayah. Salah satu caranya ialah menonton film-film yang bergenre komedi.

 “Aku suka dengan stand up comedy, aku ngga perlu jadi siapa-siapa. Di panggung, aku bisa cerita tentang apapun, jadi kayak curhat,” ujar

Dengan senyum mengembang, lulusan Universitas Padjajaran, Bandung, jurusan Ilmu Komunikasi ini mengungkap ia seperti curhat saja saat di atas panggung.       Sejak duduk di bangku sekolah dasar Abigail mengaku ia sering kali menghibur teman-teman ibunya ketika bertamu ke rumah. Namun, ia baru “resmi” ber-open mic sejak tahun 2005.

“Pertama kali aku stand up comedy justru di Bali. Kebetulan aku juga kerja di sana. Waktu itu aku lagi bercanda sambil berdiri, cerita-cerita apa aja ke temen-temen. Nah dari situ, kalau mereka lagi ngumpul dan aku nggak ada, pasti aku dicariin karena nggak ada yang ngelucu. Pertama-tama ngelucu di depan teman, terus di depan teman tapi di tempat umum, yang bisa dilihat banyak orang,”kenang wanita kelahiran jakarta, 26 November 1982 silam.

          Abaigail bercita-cita ingin menjadi seorang stand up comedian yang profesional, terlebih comic wanita di Indonesia masih sangat jarang. Tak ada maksud khusus, jauh dalam hatinya, Abigail memiliki keinginan selalu membuat orang-orang di sekelilingnya merasa bahagia.

“Aku berusaha menikmati hidup. Pingin selalu nyenangin orang. Ke depannya cuma pingin jadi stand up comedian terkenal, paling nggak di lingkup regional. Aku selalu bilang, orang yang paling bahagia adalah orang yang bisa menghasilkan sesuatu dengan hobinya,” ujar Abigail.




Tips  Ramon Tommybens

       Berikut “5 langkah yang saya sukai” untuk masuk ke dunia stand up comedy ala Ramon, antara lain:

1.       Perhatikan dan pelajari para profesional

Meski menemukan sang profesional di Indonesia masih sulit karena jumlahnya mash sedikit, Anda bisa melihat di situs-situs seperti Youtube atau di saluran cable tv

2.     Kumpulkan bahan untuk penampilan anda

Persiapkan apa yang Anda ingin katakan. Kemudian berimprovisasilah di sekitar itu.

3.     Jadikan bahan anda menjadi materi rutin stand up comedy

Untuk mengubah ide anda menjadi bahan yang akan anda bawakan ke panggung, ada beberapa hal yang bisa anda lakukan seprti menulis beberapa lelucon, susun urutan lelucon, dan kerjakan pengaturan waktu anda.

4.     Cari tempat untuk tampil

Meski masih sangat jarang, tempat terbaik untuk menampilkan stand up comedy adalah di Comedy Cafe

5.     Hasilkan uang dari kelucuan Anda

Setelah tampil beberapa kali, tentukan apakah anda memiliki bakat sebagai profesional. Jika penonton tertawa, berarti anda lucu. Jika tidak, anda harus mengutak atik bahan lagi.
au revoir (Wanita Indonesia edisi 1143)

Pipit Si Spiderkid-Hobi Memanjat dan Baring di Puncak Menara Listrik

Suasana Lebaran masih terasa ketika kawasan Kota Bambu, Tanah Abang, Jakarta Pusat dihebohkan dengan aksi seorang gadis kecil yang memanjat menara listrik bertegangan tinggi  setinggi 102 meter. Di usianya yang belum genap 10 tahun, ia sudah memanjat 18 tower hingga dijuluki Spider Kid.

            Aksi aktor Hollywood, Tobey Maguire dalam film Spiderman selalu membelalakkan mata. Dengan mudah, sang jagoan yang fenomenal itu memanjat gedung-gedung tinggi pencakar langit. Namun itu hanya imajinasi penulis skenario sekaligus sutradara Spiderman, Sam Raimy. Di Tanah Abang, Pipit beraksi di dunia nyata. 
Seperti Selasa 6/9  silam, untuk kesekian kalinya  Pipit   menjadi perbincangan karena memanjat menara listrik Tak tampak gurat rasa takut, bahkan sesampai di puncak, Pipit dengan ringan merebahkan diri dan menari dengan santai bak bermain di area lapang. Aksi Pipit  sempat membuat jalan macet total. Aksinya baru berakhir ketika ibunya membujuk untuk mengajak ke Monas dan Dufan melalui pengeras suara.

pipit berpose di depan rumahnya

salah satu tiang yang pipit panjat
Bisa Mengobati karena Allah
Menyusuri jalan setapak yang agak bergelombang, dengan rumah-rumah kecil berhimpit  di antara  rumput-rumput liar yang tumbuh, WI tiba di sebuah rumah kontrakan di RT 01,RW 01, Kelurahan Serua Indah, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan. Di rumah seluas 3x10 m itulah, Pipit, sapaan akrab pemilik nama lengkap Fitria Qotrunnada, tinggal bersama kedua orangtua dan seorang kakak laki-lakinya.
 Di rumah yang terbagi atas tiga ruangan ini, Pipit dan keluarga menghabiskan waktu bersama. Sejenak bau tak sedap menyeruak dari sudut rumah. Tampak Ayahnya terus menerus membujuk Pipit untuk mengurungkan niatnya pergi ke Tanah Abang, sementara sang ibu membersihkan remah-remah makanan yang mengotori lantai.
Keinginan Pipit seakan tak terbendung, ia terus menjerit meminta ijin bermain. Ketika sang Ibu memintanya mengobati batuk reporter WI, barulah Pipit mengurungkan niatnya. Ya, selain memiliki kemampuan menaiki menara listri, Pipit juga disebut Ibunya pandai mengobati dan meramal. Seperti yang dilakukannya siang itu, jemari kecilnya memegang tenggorokan pasiennya, mulutnya kemudian komat-kamit mengucapkan sesuatu yang tak jelas terdengar.
“Aku bisa meramal dan mengobati dari Allah. Nggak ada yang ngajarin. Aku pernah ngobatin sakit ginjal, pusing, sama pegal-pegal. Kalau meramal, aku lihat tangan kanan mereka,” ujar Pipit dengan mimik muka serius.

Hobi Panjat  Sejak  4 tahun
Tubuhnya  kurus, kulitnya hitam dan penuh luka bekas gigitan nyamuk di sekujur tangan dan kaki, dengan rambut tipis, mimiknya tampak seperti orang sedang menanggapi sesuatu dengan sinis. Di balik perawakannya yang kecil itu, jika anak-anak seusianya menyukai banyak permainan bersama teman-teman seperti,bermain bola, bersepeda, bermain boneka, kelereng, atau petak umpet, tidak dengan Pipit. Ia mencapai kepuasan dan gembira dengan melakukan hobi ekstrim memanjat menara listrik. Karena aksinya itu, Pipit sempat didiagnosis menderita autisme.
“Saya nggak ngerti soal itu. Yang jelas kalau sudah di atas itu, dia nggak bisa dipaksa turun. Percuma dibujuk. Karena  kalau waktunya harus turun, ya dia akan turun dengan sendirinya. Tapi saya sempat bujuk dia ke Monas sama Dufan. Saya sedih Pipit pingin ke Dufan tapi nggak bisa nurutin. Kalau diingat, dia manjat sampai disamperin polisi sudah lima kali. Ya ditotal-total, Pipit sudah manjat 18 kali,” ungkap Sumarni, ibu kandung Pipit.
Pipit, bungsu dari tiga anak pasangan Suprapto, 52 dan Sumarni, 45. Lahir 16 Desember 2002, pertumbuhan Pipit berjalan normal, tak ada suatu keanehan.  Ibunya juga tak memiliki firasat apa-apa ketika Pipit masih dalam kandungan. Hanya saja, karena hidup yang pas-pasan, meski ketika hamil Sumarni mengidam suatu makanan tertentu, namun ia hanya bisa makan seadanya.
Sumarni bercerita, hobi memanjat Pipit mulai terlihat ketika ia menginjak usia empat tahun. Awalnya Pipit pergi bermain, setelah dicari-cari Pipit kerap menghilang dan sulit ditemui. Ternyata saat itu Pipit terlihat asik memanjat dan bergelayut di atas pohon. Dari sejak itu, Pipit mulai memanjat genting rumah hingga menara listrik. Dalam keseharian, Pipit tak banyak bergaul dengan teman sebaya di dekat rumahnya. Ia lebih memilih bermain bersama teman-temannya di daerah Tanah Abang.
Sehari-hari, keluarga ini hidup pas-pasan dari uang hasil bekerja Suprapto sebagai pekerja serabutan proyek di daerah Koja. Suprapto sendiri pernah bekerja di kantor kelurahan. Namun setelah tiga tahun bekerja, tak jua  sebagai pegawai negeri, ehingga ia memutuskan untuk berhenti.
Boks 1 : Kalau Marah, Pipit Merusak Genteng dan Listrik
Hobi Pipit menjelajahi menara demi menara listrik bermula ketika Pipit meminta untuk pergi ke Tanah Abang. Namun permintaannya ditolakorang tua. Akhirnya Pipitpun nekat meninggalkan rumah. Saat tahu disusul dan dibuntuti ibunya, Pipit nekat memanjat menara listrik.  Sejak itu, bermodal nekat, ia kerap pergi ke Tanah Abang dengan menggunakan kendaraan umum.
“Yang pertama naik angkot, terus naik kereta. Aku pernah ke sana sama ibu, sama kakak, jadinya bisa pergi tasendiri. Kalau manjat, hati jadi lega, adem. Aku peluk kabel, pegangan di situ. Aku berani.tiduran. Terus orang-orang yang di bawah jadi ramai. Aku senang manjat,” tutur Pipit dengan lancar.
Melihat hobi aneh Pipit, orangtuanya sempat membawa Pipit ke “orang pintar”. Pipit disebut dirasuki mahlus halus dan oleh karena itu ia harus mempersingkat nama Fitria Qotrunnada menjadi Fitria. Pipitpun pernah dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa Grogol, namun karena keterbatasan biaya, mereka terpaksa membawa Pipit pulang, mengingat mereka pun harus mengurusi kebutuhan hidup kakak lelaki Pipit, Sutanto, 20 yang menderita hidrosepalus.
“Sebenarnya yang bilang autisme itu Kak Seto, kalau kata dokter di rumah sakit Pipit kena penyakit gangguan perilaku. Pipit itu sebenarnya anak yang pintar, harus ada yang ngarahin. Saya sendiri nggak mampu membiaya dia. Sedih sekali rasanya, apalagi kalau ingat dia ingin sekali ke Dufan,” tutur Sumarni sembari menangis.
Pipit yang suka makan mie goreng ini pernah mengenyam bangku pendidikan hingga kelas dua sekolah dasar. Namun tak sampai tiga bulan, orang tua terpaksa mengeluarkannya dari sekolah karena kebiasaan Pipit yang sering memanjat genting dan pohon di sekitar sekolah. Meski begitu, orangtua Pipit tak menampik bahwa Pipit merupakan anak yang pintar. Ketika di sekolah, Pipit dapat membaca dan mengerjakan pelajaran matematika dengan baik. Bahkan ia sempat mendapat juara kelas. Pipit bisa menghitung satu sampai sepuluh dengan bahasa Inggris, pintar berbicara dan menjawab pertanyaan dari orang dewasa.
“Pipit memang jarang bergaul dengan anak sekitar. Anaknya mah baik, tapi anak-anak lain kalau melihat dia sudah keburu takut, tapi Pipit itu nggak nakal. Dia tidak pernah berantem sama anak-anak di sini, meski dia dulu suka marah-marah. Sekarang sih dia sudah jarang marah-marah.  Kasihan orangtuanya, kalau Pipit lagi marah, genteng-genteng bisa dipretelin dan listrik bisa dibedol,” tutur Ety, salah satu tetangga yang bermukim tak jauh dari kediaman Pipit.

Boks 2: ‘Mahluk Tinggi Besar Itu Bergantian Masuk ke Badanku’
Dibalik hobi memanjatnya, Pipit bercerita  jika ada seseorang, secara tak kasat mata menyuruhnya untuk memanjat menara listrik.
“Ada yang nyuruh manjat. Cowo’ rambutnya putih panjang, badannya item, tinggi, besar. Mereka ganti-gantian masuk ke badan aku. Aku nggak bisa nolak, mereka banyak. Satu aja takut apalagi banyak,” ucap Pipit.
Sorot matanya tajam, meski saat sedang tertawa, pandangan matanya seolah-olah sinis bak orang yang penuh kebencian.

Ibu Jadi Pasien Pertama       
Sang ibu bercerita bahwa ialah yang menjadi pasien pertamanya.          
“Awalnya saya kan sakit stroke. Tangan saya sakit, nggak bisa kerja dan nyuci. Lalu dia bertanya tangan saya kenapa. Dan saya bilang kalau tangan ini sakit. Tak lama, sambil memegang tangan ibu, Pipit komat-kamit dan tak lama kemudian, tangan saya tak sakit lagi,” cerita Sumarni
“Sejak itu Pipit suka mengobati orang. Kebanyakan pasiennya ada di Tanah Abang. Makanya Pipit sering memaksa pergi ke sana karena dia sudah janji mau nyembuhin orang. Dia nggak pernah minta bayaran, kalau dikasih dan dipaksa, baru dia terima,” lanjut si Ibu.
Ketika ditanya apa cita-citanya, Pipit menunduk malu-malu dan menjawab ingin menjadi anak presiden dan menjadi orang kaya. Sebab dengan menjadi anak presiden dan anak orang kaya, ia bisa jalan-jalan kemanapun ia suka dan bisa memberi uang kepada pengemis di kereta. Sebuah harapan polos dan tulus yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh anak seusia Pipit lainnya.

Bukan Autisme
            Menurut dokter ahli kejiwaan Dr Ika Widyawati SpKJ (K), terdapat tiga gejala pokok seseorang mengidap autisme, yakni:
1. Adanya gangguan pada interaksi sosial
Otomatis, seseorang tidak bisa berinteraksi secara normal dengan orang sekelilingnya. Dia tidak mengenal siapa orangtuanya, siapa nama mereka. Kalaupun bisa, itu sudah agak terlatih. Dilihat dari kontak mata, walaupun dia melihat tetapi seperti menembus kita, seperti melamun. Ketika dipanggil, ia tidak akan merespon. Interaktif dengan orang lain akan sangat minim. Dia tidak mau berteman, dia akan menyendiri dan lepas dari kelompoknya.

2. Adanya gangguan komunikasi dua arah, baik verbal mapun non verbal
Kalaupun orang tersebut bisa bicara, itu hanya one way, satu arah, hanya cerita tentang dirinya. Dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang karena apa yang ada di dalam pikiranya, itu yang akan dikeluarkan. Biasanya nada suara akan monoton, ada lengkingan infantil (seperti suara bayi yang khas). Pada anak autisme, non verbal juga terganggu. Umumnya seorang anak normal, tanpa diajari dia akan menunjuk sesuatu. Pada anak autistik mereka harus diajari. Mereka tidak akan senyum meskipun kita tersenyum.

3 Adanya gerakan tubuh yang tidak biasa
Pada autisme, terdapat gerakan tubuh yang diulang-ulang seperti mengepakkan tangan atau tepuk-tepuk paha. Namun tidak ada tujuan ketika melakukan hal tersebut.

Boks 3 : Digerakkan Halusinasi & Khayalan
“Dari cerita yang dituturkan, melihat komunikasi dua arah bagus, interaksi sosial juga tidak terganggu, dia juga tidak melakukan gerakan yang tidak biasa. Mungkin  dia hanya menyukai menara. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan ke arah autistik. Ini juga bukan berarti dia mengalami gangguan tingkah laku,”ujar dr Ika Widyawati SpKJ (K ketika ditemui di departemen Psikiatri FKUI/RSCM, Jakarta.

Menurut Ika, nak dengan gangguan tingkah laku sebenarnya berat. Karena bisa menyebabkan si anak mencuri, membangkang, bahkan tidak mempunyai keinginan untuk sekolah.
”Kalau anak ini hanya ingin atau menyukai untuk menaiki menara seperti itu, ya mungkin itu hanya sebatas menyukai menara. Itu perlu diteliti lebih lanjut,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut Ika mengatakan  gangguan tingkah laku pasti ada kejahatan moral yang menyertai seperti berbohong atau mencuri.
”Meskipun dia membendol listrik, tapi mungkin saja dia tidak tahu apa tujuannya. Dia tidak mengerti akibatnya. Kalau gangguan tingkah laku beda, dia melakukan sesuatu karena ada tujuannya. Mungkin dia hanya memiliki kelebihan pada keterampilan motorik kasarnya dan kelebihan pada keberaniannya,” lanjut dr.Ika
Perihal adanya seseorang yang berbisik kepadanya, dr Ika menjelaskan bisa jadi itu merupakan halusinasi atau khayalan dari seorang anak kecil.
            “ Ada yang namanya halusinasi dengar. Kita mendengar suara padahal itu suara kita sendiri, begitu juga dengan halusinasi melihat. Kita melihat sesuatu padahal itu tidak ada. Kita harus buktikan. Bukankah semua anak kecil memang suka menghayal?” ujar dr.Ika.
Lebih jauh, terdapat beberapa tindakan medis yang bisa diambil untuk menangani masalah ini, yakni pemberian obat dan terapi seperti terapi bermain, perilaku, dan wicara. Pemberian obat merupakan pengobatan utama karena neurotransmitter atau jumlah cairan zat kimia yang ada di otak sedang terganggu. Obat tersebut akan membuat stabil jumlah  neurotransmitter. Jika sudah stabil, dengan sendirinya maka emosi dan perilaku seseorang juga akan stabil.
“Otomatis terapi-terapi lain bisa membantu. Kalau anak tersebut masih marah dan mengamuk, kan tidak mungkin terapi-terapi lainnya bisa dilakukan. Tak hanya anak, kita juga perlu melakukan konseling dengan orang tua agar kita juga tahu bagaimana riwayat kesehatan mereka. Setelah itu baru melakukan wawancara dengan sang anak.
Pertama wawancara dengan ortunya, latar belakangnya, bagaimana waktu kehamilannya, dan riwayat penyakit. Baru kita wawancara anaknya. Tak ada yang bisa memastikan kesembuhan. Ada yang membutuhkan waktu sebentar, lama, bahkan permanen,” jelas dr. Ika.

au revoir (WI edisi 1132)

Kamis, 05 Januari 2012

Akhirnya Menjadi Pelita

Di daerahnya, ia menjadi wanita pertama yang menjadi sarjana. Namun karena budaya patriarki, setelah menikah ia semata mengurus rumah tangga,   tidak bisa bekerja di luar rumah. Maka, sepeninggal sang suami, ia terpuruk dan sempat kehilangan kesadaran, ingin mengajak anak-anaknya bunuh diri.
            Nuraeni, atau yang berarti cahaya mata. Singkat dan tepat menggambarkan keseharian wanita yang dibesarkan di daerah pesisir ini. Baginya, perjalanan hidup seperti gelombang air. Bergerak naik turun dan tak tentu kemana arahnya akan melaju. Di tengah-tengah keprihatinan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekelilingnya, Nuraeni hadir laksana cahaya.
Nuraeni pernah mencicipi manisnya hidup. Memiliki keluarga dan berkehidupan nyaris sempurna. Ketika orang-orang yang dicintainya dirampas, ia terpuruk dan sempat kehilangan akal sehat. Namun, ia tak ingin hidupnya sama seperti kebanyakan wanita pesisir lainnya, miskin. Ia pun bangkit, berjuang melawan setiap nadi getir kehidupan. Nuraeni menggengam harapan yang telah lama terbenam dalam nuraninya. Memutus mata rantai kemiskinanan keluarga nelayan di sekelilingnya.
            Ketika hadir dalam malam penganugerahan Wanita Inpiratif She Can Tupparware, di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis, 8/12 silam, Nuraeni berbagi cerita, membuka kembali lembar-lembar kisah hidupnya pada WI. Termasuk perjuangannya
melepaskan keluarga nelayan dari cengkeraman tengkulak (rentenir), dengan mengajak para istri nelayan untuk mengolah hasil ikan. Berkat tangan-tangan penuh cintanya, kini perekonomian masyarakat Paotere, Makassar semakin membaik.
Nuraeni bersama ketiga anaknya dan Shahnaz Haque

Aku Satu-satunya Sarjana
            Nama saya Nuraeni. Anak keenam dari tujuh bersaudara, lahir dari pasangan Abd.Latief dan Dg. Masennang, 6 Agustus 1969 silam. Namun, sekarang kami hanya berenam karena kakak laki-laki saya telah tiada. Saya lahir dan dibesarkan di kelurahan Pattingalloang, kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagian besar penduduk di sini ialah nelayan. Sisanya berprofesi sebagai buruh dan tukang becak.
Di daerah kami, tingkat kesejahteraan masyarakat masih tergolong jauh dari kesejahteraan. Kekerasan dalam rumah tangga pun masih sangat tinggi. Mereka tak mengerti hukum. Jangankan hukum, pendidikan pun tak pernah tuntas. Meski agama kami sangat kuat, namun tingkat perselingkuhan cukup tinggi. Para istri menjadi tidak puas karena penghasilan suami kurang. Pernikahan dinipun banyak terjadi, karena orang tua tidak lagi sanggup mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Ya, lagi-lagi karena faktor ekonomi.
Bapak saya  pegawai kantor pajak biasa. Jangan dibayangkan seperti kantor pajak di kota-kota besar lainnya. Penghasilannya kecil, tak seberapa. Meski begitu, bapak sanggup menafkahi sehingga kami tak pernah kekurangan kebutuhan, baik materi atau kasih sayang. Karena sudah berpikiran agak maju, Bapak dianggap sebagai tokoh masyarakat d isini. Sementara, ibu fokus mengurus rumah tangga. Menghabiskan waktunya mengurus kami dan mengabdi pada suami.
Di tempat ini, kami masih memegang adat. Perempuan umumnya tidak boleh keluar rumah. Bahkan, jika ada tamu laki-laki berkunjung ke rumah, saya tidak boleh keluar. Masa kecil saya hampir sebagian besar dihabiskan dengan bermain di dalam rumah. Saya begitu dekat dengan ibu. Sangat jarang berkomunikasi dengan Bapak. Di sini, kami sangat menghormati pihak laki-laki. Bahkan, jika sedang makan bersama, apa yang Bapak ambil, jangan sampai kita ambil juga.
            Kebanyakan perempuan di sini perkawinannya dengan perjodohan, sebab keluarga laki-lakilah yang berperan dalam pengambilan keputusan. Kami tak berani berpacaran. Takut-takut, paman atau sepupu laki-laki menjadi marah. Istilahnya, orang tua kami hanya melahirkan. Selanjutnya, untuk masalah jodoh, ditentukan atas ijin dari pihak keluarga orang tua laki-laki.
Ibu kerap menasihati saya, kita tidak apa-apa, ke depannya, saya harus mempunyai pekerjaan. Ibu sangat menginginkan saya untuk menjadi sarjana. Suatu ketika, ia pernah berucap, “Kalau kamu di wisuda, saya mau berdiri di samping kamu, Nak”. Begitu kuatnya harapan ibu ingin melihat saya menjadi sarjana. Itulah yang menjadi kekuatan saya untuk menamatkan kuliah. Dorongan ibu sangat kuat untuk saya.Bapak juga mendorong saya untuk maju, paling tidak berbuat sesuatu untuk perempuan di daerah saya. Maka dari itu, semakin besar niat hati ini untuk menamatkan bangku kuliah.
Di keluarga saya, bahkan di daerah ini, saya adalah satu-satunya perempuan yang berhasil menjadi sarjana. Bahkan kakak laki-laki sayapun enggan menuntaskan pendidikannya. Pengaruh lingkungan begitu kuat. Dahulu, menikahkan anak laki-laki menjadi semacam kebanggaan tersendiri. Dianggap hebat, karena harus “membeli” perempuan dengan mahar. Semakin tinggi status sosial perempuan, maharpun semakin mahal.
           
Menikah dengan Pujaan Hati
Tahun 1987, saya melanjutkan pendidikan di Universitas Hasanuddin, jurusan Sosial Politik. Di sinilah, hati saya tertambat oleh seorang pria yang akhirnya menjadi suami saya, Rusdy Ambo. Saya bertemu dengannya, dua tahun sebelum menyelesaikan kuliah. Meski  tidak satu kampus, namun karena kami terlibat aktif dalam senat mahasiswa, kamipun sering berjumpa dalam setiap acara. Hingga akhirnya, benih-benih cinta antara kamipun bersemi.
Karena adat yang begitu kuat, kami pun menyembunyikan hubungan ini dari keluarga. Kami hanya berpacaran di kampus. Tidak ada masa-masa indah pacaran seperti pergi makan bersama, ke bioskop, atau mengantarkan saya sampai depan rumah dan berkenalan dengan orang tua.
Saya jatuh cinta kepada pola pikirnya. Sering kali kami sharing tentang banyak hal. Dan ternyata, kami memiliki banyak kesamaan dalam pemikiran. Rusdy bisa mengikuti arah pemikiran saya. Saya tak pernah memandang pria dari segi fisik, namun iman. Karena bagi saya, kalau seorang pria memiliki iman yang cukup baik, ia tidak akan menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Ketika menamatkan kuliah tahun 1992, hubungan kami masih berlanjut. Kemudian, saya memberanikan diri berbicara dengan orang tua  bahwa ada yang ingin melamar saya. Seolah telah digariskan oleh Tuhan, proses lamaran kami berjalan mulus, hingga saya dan Rusdy bisa menyatukan benang-benang cinta kami ke dalam ikatan penikahan. Tentu saja, ia harus membayar mahar ketika menikahi saya. Ia memberi mahar sebanyak Rp 5 juta, yang ketika itu jumlah tersebut masih sangat besar.
Tahun 1994, kami menikah. Hidup bahagia dengan ketiga anak laki-laki, Dinur Fachri, Chaidi Nurdi, dan Russil Resky. Setelah menikah, suami saya menjadi ketua RT. Ada nilai lebih yang diberikan masyarakat untuk kami. Dan saya mensyukurinya.Hanya saja, ada kesedihan kecil dalam hati saya karena saya hanya menjadi ibu rumah tangga. Saya seorang sarjana, namun tidak bekerja. Rusdy memang tidak pernah melarang, namun seringkali ia mengingatkan saya akan nasib anak-anak kami yang masih kecil, kalau-kalau kami berdua sama-sama bekerja. Rusdy menegaskan, bahwa ia masih sanggup menafkahi kami.
Setahun berjalan, saya harus menerima kabar pahit bahwa bapak meninggal karena diabetes. Belum tuntas, empat tahun kemudian Ibu menyusul. Tak jelas, apa sebabnya. Sakit psikis ditinggal suami, menjadi dalih kami. Hari-hari saya gelap, tanpa orang tua, namun Rusdy setia mendampingi saya melalui masa-masa sedih.
Ketika di pelelangan ikan

Bersama ibu-ibu mengolah hasil laut

BOKS : Kehilangan Suami Seperti Bola Lampu yang Padam
Sepuluh tahun berlanjut. Suatu sore, pengujung November  2004, saya dan Rusdy hendak pergi ke sebuah tempat. Dalam perjalanan, tiba-tiba Rusdy mengeluhkan sakit di dada. Kamipun langsung bergegas mengunjungi dokter terdekat. Namun, dada suami saya semakin sesak, nafasnya terengah-engah. Ia meninggal. Semua terjadi begitu cepat. Tak ada tanda-tanda sebelumnya. Bahkan, mengeluh sakit sebelumnyapun tidak.
Saya pernah mengalami sakitnya ditinggal bapak, sakitnya ditinggal ibu, dan kakak. Namun saya tak pernah membayangkan akan sesakit ini ketika ditinggal oleh suami, orang yang menjadi tumpuan serta curahan hati saya.
Sepeninggalan suami, saya syok, serasa terlempar ke dasar jurang. Bagaimana saya harus melanjutkan hidup? Saya frustasi, sebab masih memiliki tiga anak berusia belia. Saya tidak memiliki keterampilan. Untuk bekerja, rasanya sudah tak mungkin, mengingat usia sudah menginjak kepala tiga. Ingin menjadi buruh cuci, tapi tak satupun yang menginginkan saya. Apalagi di lingkungan sekitar, kami adalah panutan. Banyak masyarakat yang berkeluh-kesah pada kami. Ini seakan menjadi beban bagi saya, takut saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka.
Saya hilang kesadaran. Terlintas dalam benak, saya ingin membunuh anak-anak, lalu bunuh diri. Saya tidak ingin membebani keluarga lain. Saya ingat, tujuh hari setelah suami meninggal, saya mengajak ketiga anak saya pergi ke pantai malam hari. Saya berniat mendorong anak-anak ke laut. Saya berkeliling mengitari pantai, mencari tempat sepi. Anak-anakpun sempat bertanya kenapa mereka diajak berkeliling tak tentu arah. Saya hanya terdiam.
Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Saya menyadari bahwa di pantai itu tak pernah sepi pengunjung, bahkan hingga tengah malam. Sehingga niat saya membunuh anak-anakpun menjadi padam. Di sinilah saya merasa dapat teguran dari Tuhan. Seketika saya tersadar, Tuhan tak pernah memberikan cobaan pada umatnya di luar kemampuan. Kamipun kembali ke rumah.
Sampai di rumah, segera saya mengambil air wudhu dan sholat. Saya menangis dan bertobat atas niat jahat saya. Ketika masih hidup, saya memang terlena dengan kehidupan saya, dengan apa yang diberikan oleh suami. Namun di situlah saya sadar Tuhan menguji supaya saya bisa bermanfaat untuk orang lain. Skenario-Nya jauh lebih indah.
Maka saya pun bertekad, wanita lain tak akan mengulang pengalaman saya   paska ditinggal suami.Di Makassar, kehilangan suami seperti bola lampu yang padam. Pencitraan sebagai janda sangat malu untuk ditanggung. Janda dianggap membebani keluarga dan saudara, sial, serba salah. Makanya saya perjuangkan perempuan untuk tetap memiliki nilai, meskipun kami tidak memiliki suami.
Saya menyadari perempuan yang tidak memiliki keterampilan akan sulit bekerja. Paling tidak saya menciptakan kondisi di mana perempuan bisa bekerja tapi tetap bisa mengurus anak. Saya tak ingin, perempuan menjadi tidak berdaya hanya karena ditinggal suami seperti saya. Itulah yang ingin saya tularkan ke mereka.

Boks: Mengolah Ikan yang Melimpah
            Di tempat kami, tengkulak begitu meraja. Memegang sendi-sendi perekonomian para nelayan. Saya tak berdaya jika harus menghadapi para tengkulak. Namun saya memilih cara menjangkau para istri nelayan, agar tak perlu berhadapan langsung dengan mereka.

            Saya  kemudian mendidik para istri untuk mengolah hasil tangkapan. Selain itu, saya juga mendirikan koperasi Fatima Az-Zahra agar mereka tak perlu lagi berhutang pada tengkulak.

Abon Ikan dan Bandeng Cabut Tulang
Ya, awalnya saya memang melakukan ini semua karena kondisi yang terjepit. Saya harus menghidupi anak-anak. Tak berselang lama paska suami meninggal, seorang teman mengarahkan saya untuk mengikuti suatu kegiatan. Tujuan awalnya, agar saya memiliki kesibukan. Saya pun bergabung dengan koalisi pemberdayaan masyarakat sipil. Di sanalah saya dipertemukan dengan Dinas Perikanan. Ternyata mereka memiliki beberapa pelatihan. Dan saya memilih pelatihan untuk pengolahan hasil laut seperti abon ikan tuna dan bandeng cabut tulang.
Saya berpikir, usaha ini akan berkembang mengingat potensi lokal di sana. Saya juga tidak perlu modal banyak karena ada sumber daya manusia yang besar. Banyak istri nelayan yang mau bekerja. Karena waktu itu tidak memiliki modal cukup, saya hanya mengolah 35 kg saja.
Tahun 2005 saya mulai menjalankan usaha ini, tapi belum produktif. Baru pada tahun 2006, saya memulai produksi abon dan bandeng. Saya mengajak beberapa teman untuk membantu saya, karena tidak mungkin melakukan ini sendiri. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mempelajari ini. Ketika saya cukup mahir, saya mengajak wanita lain untuk melakukan hal yang sama.
Mereka tidak menolak, hanya saja awalnya agak ragu. Apakah akan ada yang membeli abon ikan, karena yang populer hanya abon sapi. Begitu jadi, saya tawarkan ke LSM setempat. Saya menawarkan pada mereka untuk membeli, meski awalnya menolak. Selanjutnya, jika teman-teman di organisasi memiliki kegiatan atau pelatihan di suatu tempat, mereka mengajak kami untuk memajang hasil produksi. Dari situlah, usaha kami mulai dikenal.
Awalnya kami  hanya berlima, kini berkembang menjadi 21 orang. Meski hanya 21, kami memiliki jaringan luas untuk pemasaran, sekitar 219 perempuan. Mereka terdiri dari Majelis Taklim, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Selain itu, seluruh penghasilan kami sisihkan untuk memberi makan lansia dan balita yang kekurangan gizi. Kami tak perlu menunggu dana dari puskesmas setempat. Uangpun kami gunakan untuk menyewa pengacara, untuk mendampingi mereka yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Memperoleh penghargaan wanita inspiratif versi She can! Award

Dirikan Koperasi Fatima Az-Zahra
Saya sering mendengar keluh kesah istri nelayan yang terbeban  karena ulah para tengkulak. Di daerah pesisir, para tengkulak sangat memudahkan untuk meminjam, tapi dengan bunga yang tinggi. Pemerintah melihat, namun seolah menutup mata dan tak berdaya untuk memutus mata rantai ini. Seorang nelayan yang meminjam uang ke tengkulak, harus menjual hasil tangkapannya juga ke tengkulak. Jika menolak, seorang nelayan akan dilarang untuk masuk ke pelelangan ikan, dihajar hingga babak belur, sampai dibunuh. Mereka tak bisa bersembunyi karena tengkulak memiliki jaringan yang memantau gerak-gerik mereka.
Inilah yang menggerakkan saya untuk mendirikan koperasi Fatima Az-Zahra. Seperti kisahnya, Fatima Az-Zahra ialah wanita utama dalam Islam yang patut diteladani. Saya berharap, para istri nelayan bisa meneladani sikap-sikapnya.
Kendala awalnya memang pada dana. Setelah mencari kesana-kemari, terkumpullah dana Rp 6 juta. Di koperasi ini mereka bisa meminjam uang dengan bunga rendah. Mereka bisa terbebas dari cengkeraman tengkulak. Berkat koperasi dan beragam penyuluhan yang kami berikan, kehidupan mereka sudah lebih baik. Mereka tak lagi buta huruf, dan sadar hukum, sehingga KDRT bisa ditekan. Ketika mereka akan memukul anak atau istri, mereka akan berpikir ulang.
Saya bersyukur atas pencapaian saya selama ini. Kini sudah tiga puluh tahun saya menjadi kader PKK. Tak ada rasa letih bagi saya. Dan selama saya mampu, tangan-tangan ini akan terus saya pergunakan untuk mereka.Penghargaan yang saya terima seperti peniti emas dari walikota Makassar untuk pengabdian 25 tahun atau menjadi salah satu wanita inspiratif dalam She Can Tupparware hanya menjadi bonus bagi saya. Selebihnya, saya ingin berkarya. Ingin perempuan di keluarga nelayan bisa sejajar dengan perempuan lain. Sayapun ingin, ketika saya sudah tidak ada, anak-anak saya bisa melanjutkan perjuangan saya.

au revoir.. (Tabloid Wanita Indonesia edisi 1146)