Kamis, 05 Januari 2012

Akhirnya Menjadi Pelita

Di daerahnya, ia menjadi wanita pertama yang menjadi sarjana. Namun karena budaya patriarki, setelah menikah ia semata mengurus rumah tangga,   tidak bisa bekerja di luar rumah. Maka, sepeninggal sang suami, ia terpuruk dan sempat kehilangan kesadaran, ingin mengajak anak-anaknya bunuh diri.
            Nuraeni, atau yang berarti cahaya mata. Singkat dan tepat menggambarkan keseharian wanita yang dibesarkan di daerah pesisir ini. Baginya, perjalanan hidup seperti gelombang air. Bergerak naik turun dan tak tentu kemana arahnya akan melaju. Di tengah-tengah keprihatinan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekelilingnya, Nuraeni hadir laksana cahaya.
Nuraeni pernah mencicipi manisnya hidup. Memiliki keluarga dan berkehidupan nyaris sempurna. Ketika orang-orang yang dicintainya dirampas, ia terpuruk dan sempat kehilangan akal sehat. Namun, ia tak ingin hidupnya sama seperti kebanyakan wanita pesisir lainnya, miskin. Ia pun bangkit, berjuang melawan setiap nadi getir kehidupan. Nuraeni menggengam harapan yang telah lama terbenam dalam nuraninya. Memutus mata rantai kemiskinanan keluarga nelayan di sekelilingnya.
            Ketika hadir dalam malam penganugerahan Wanita Inpiratif She Can Tupparware, di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis, 8/12 silam, Nuraeni berbagi cerita, membuka kembali lembar-lembar kisah hidupnya pada WI. Termasuk perjuangannya
melepaskan keluarga nelayan dari cengkeraman tengkulak (rentenir), dengan mengajak para istri nelayan untuk mengolah hasil ikan. Berkat tangan-tangan penuh cintanya, kini perekonomian masyarakat Paotere, Makassar semakin membaik.
Nuraeni bersama ketiga anaknya dan Shahnaz Haque

Aku Satu-satunya Sarjana
            Nama saya Nuraeni. Anak keenam dari tujuh bersaudara, lahir dari pasangan Abd.Latief dan Dg. Masennang, 6 Agustus 1969 silam. Namun, sekarang kami hanya berenam karena kakak laki-laki saya telah tiada. Saya lahir dan dibesarkan di kelurahan Pattingalloang, kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagian besar penduduk di sini ialah nelayan. Sisanya berprofesi sebagai buruh dan tukang becak.
Di daerah kami, tingkat kesejahteraan masyarakat masih tergolong jauh dari kesejahteraan. Kekerasan dalam rumah tangga pun masih sangat tinggi. Mereka tak mengerti hukum. Jangankan hukum, pendidikan pun tak pernah tuntas. Meski agama kami sangat kuat, namun tingkat perselingkuhan cukup tinggi. Para istri menjadi tidak puas karena penghasilan suami kurang. Pernikahan dinipun banyak terjadi, karena orang tua tidak lagi sanggup mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Ya, lagi-lagi karena faktor ekonomi.
Bapak saya  pegawai kantor pajak biasa. Jangan dibayangkan seperti kantor pajak di kota-kota besar lainnya. Penghasilannya kecil, tak seberapa. Meski begitu, bapak sanggup menafkahi sehingga kami tak pernah kekurangan kebutuhan, baik materi atau kasih sayang. Karena sudah berpikiran agak maju, Bapak dianggap sebagai tokoh masyarakat d isini. Sementara, ibu fokus mengurus rumah tangga. Menghabiskan waktunya mengurus kami dan mengabdi pada suami.
Di tempat ini, kami masih memegang adat. Perempuan umumnya tidak boleh keluar rumah. Bahkan, jika ada tamu laki-laki berkunjung ke rumah, saya tidak boleh keluar. Masa kecil saya hampir sebagian besar dihabiskan dengan bermain di dalam rumah. Saya begitu dekat dengan ibu. Sangat jarang berkomunikasi dengan Bapak. Di sini, kami sangat menghormati pihak laki-laki. Bahkan, jika sedang makan bersama, apa yang Bapak ambil, jangan sampai kita ambil juga.
            Kebanyakan perempuan di sini perkawinannya dengan perjodohan, sebab keluarga laki-lakilah yang berperan dalam pengambilan keputusan. Kami tak berani berpacaran. Takut-takut, paman atau sepupu laki-laki menjadi marah. Istilahnya, orang tua kami hanya melahirkan. Selanjutnya, untuk masalah jodoh, ditentukan atas ijin dari pihak keluarga orang tua laki-laki.
Ibu kerap menasihati saya, kita tidak apa-apa, ke depannya, saya harus mempunyai pekerjaan. Ibu sangat menginginkan saya untuk menjadi sarjana. Suatu ketika, ia pernah berucap, “Kalau kamu di wisuda, saya mau berdiri di samping kamu, Nak”. Begitu kuatnya harapan ibu ingin melihat saya menjadi sarjana. Itulah yang menjadi kekuatan saya untuk menamatkan kuliah. Dorongan ibu sangat kuat untuk saya.Bapak juga mendorong saya untuk maju, paling tidak berbuat sesuatu untuk perempuan di daerah saya. Maka dari itu, semakin besar niat hati ini untuk menamatkan bangku kuliah.
Di keluarga saya, bahkan di daerah ini, saya adalah satu-satunya perempuan yang berhasil menjadi sarjana. Bahkan kakak laki-laki sayapun enggan menuntaskan pendidikannya. Pengaruh lingkungan begitu kuat. Dahulu, menikahkan anak laki-laki menjadi semacam kebanggaan tersendiri. Dianggap hebat, karena harus “membeli” perempuan dengan mahar. Semakin tinggi status sosial perempuan, maharpun semakin mahal.
           
Menikah dengan Pujaan Hati
Tahun 1987, saya melanjutkan pendidikan di Universitas Hasanuddin, jurusan Sosial Politik. Di sinilah, hati saya tertambat oleh seorang pria yang akhirnya menjadi suami saya, Rusdy Ambo. Saya bertemu dengannya, dua tahun sebelum menyelesaikan kuliah. Meski  tidak satu kampus, namun karena kami terlibat aktif dalam senat mahasiswa, kamipun sering berjumpa dalam setiap acara. Hingga akhirnya, benih-benih cinta antara kamipun bersemi.
Karena adat yang begitu kuat, kami pun menyembunyikan hubungan ini dari keluarga. Kami hanya berpacaran di kampus. Tidak ada masa-masa indah pacaran seperti pergi makan bersama, ke bioskop, atau mengantarkan saya sampai depan rumah dan berkenalan dengan orang tua.
Saya jatuh cinta kepada pola pikirnya. Sering kali kami sharing tentang banyak hal. Dan ternyata, kami memiliki banyak kesamaan dalam pemikiran. Rusdy bisa mengikuti arah pemikiran saya. Saya tak pernah memandang pria dari segi fisik, namun iman. Karena bagi saya, kalau seorang pria memiliki iman yang cukup baik, ia tidak akan menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Ketika menamatkan kuliah tahun 1992, hubungan kami masih berlanjut. Kemudian, saya memberanikan diri berbicara dengan orang tua  bahwa ada yang ingin melamar saya. Seolah telah digariskan oleh Tuhan, proses lamaran kami berjalan mulus, hingga saya dan Rusdy bisa menyatukan benang-benang cinta kami ke dalam ikatan penikahan. Tentu saja, ia harus membayar mahar ketika menikahi saya. Ia memberi mahar sebanyak Rp 5 juta, yang ketika itu jumlah tersebut masih sangat besar.
Tahun 1994, kami menikah. Hidup bahagia dengan ketiga anak laki-laki, Dinur Fachri, Chaidi Nurdi, dan Russil Resky. Setelah menikah, suami saya menjadi ketua RT. Ada nilai lebih yang diberikan masyarakat untuk kami. Dan saya mensyukurinya.Hanya saja, ada kesedihan kecil dalam hati saya karena saya hanya menjadi ibu rumah tangga. Saya seorang sarjana, namun tidak bekerja. Rusdy memang tidak pernah melarang, namun seringkali ia mengingatkan saya akan nasib anak-anak kami yang masih kecil, kalau-kalau kami berdua sama-sama bekerja. Rusdy menegaskan, bahwa ia masih sanggup menafkahi kami.
Setahun berjalan, saya harus menerima kabar pahit bahwa bapak meninggal karena diabetes. Belum tuntas, empat tahun kemudian Ibu menyusul. Tak jelas, apa sebabnya. Sakit psikis ditinggal suami, menjadi dalih kami. Hari-hari saya gelap, tanpa orang tua, namun Rusdy setia mendampingi saya melalui masa-masa sedih.
Ketika di pelelangan ikan

Bersama ibu-ibu mengolah hasil laut

BOKS : Kehilangan Suami Seperti Bola Lampu yang Padam
Sepuluh tahun berlanjut. Suatu sore, pengujung November  2004, saya dan Rusdy hendak pergi ke sebuah tempat. Dalam perjalanan, tiba-tiba Rusdy mengeluhkan sakit di dada. Kamipun langsung bergegas mengunjungi dokter terdekat. Namun, dada suami saya semakin sesak, nafasnya terengah-engah. Ia meninggal. Semua terjadi begitu cepat. Tak ada tanda-tanda sebelumnya. Bahkan, mengeluh sakit sebelumnyapun tidak.
Saya pernah mengalami sakitnya ditinggal bapak, sakitnya ditinggal ibu, dan kakak. Namun saya tak pernah membayangkan akan sesakit ini ketika ditinggal oleh suami, orang yang menjadi tumpuan serta curahan hati saya.
Sepeninggalan suami, saya syok, serasa terlempar ke dasar jurang. Bagaimana saya harus melanjutkan hidup? Saya frustasi, sebab masih memiliki tiga anak berusia belia. Saya tidak memiliki keterampilan. Untuk bekerja, rasanya sudah tak mungkin, mengingat usia sudah menginjak kepala tiga. Ingin menjadi buruh cuci, tapi tak satupun yang menginginkan saya. Apalagi di lingkungan sekitar, kami adalah panutan. Banyak masyarakat yang berkeluh-kesah pada kami. Ini seakan menjadi beban bagi saya, takut saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka.
Saya hilang kesadaran. Terlintas dalam benak, saya ingin membunuh anak-anak, lalu bunuh diri. Saya tidak ingin membebani keluarga lain. Saya ingat, tujuh hari setelah suami meninggal, saya mengajak ketiga anak saya pergi ke pantai malam hari. Saya berniat mendorong anak-anak ke laut. Saya berkeliling mengitari pantai, mencari tempat sepi. Anak-anakpun sempat bertanya kenapa mereka diajak berkeliling tak tentu arah. Saya hanya terdiam.
Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Saya menyadari bahwa di pantai itu tak pernah sepi pengunjung, bahkan hingga tengah malam. Sehingga niat saya membunuh anak-anakpun menjadi padam. Di sinilah saya merasa dapat teguran dari Tuhan. Seketika saya tersadar, Tuhan tak pernah memberikan cobaan pada umatnya di luar kemampuan. Kamipun kembali ke rumah.
Sampai di rumah, segera saya mengambil air wudhu dan sholat. Saya menangis dan bertobat atas niat jahat saya. Ketika masih hidup, saya memang terlena dengan kehidupan saya, dengan apa yang diberikan oleh suami. Namun di situlah saya sadar Tuhan menguji supaya saya bisa bermanfaat untuk orang lain. Skenario-Nya jauh lebih indah.
Maka saya pun bertekad, wanita lain tak akan mengulang pengalaman saya   paska ditinggal suami.Di Makassar, kehilangan suami seperti bola lampu yang padam. Pencitraan sebagai janda sangat malu untuk ditanggung. Janda dianggap membebani keluarga dan saudara, sial, serba salah. Makanya saya perjuangkan perempuan untuk tetap memiliki nilai, meskipun kami tidak memiliki suami.
Saya menyadari perempuan yang tidak memiliki keterampilan akan sulit bekerja. Paling tidak saya menciptakan kondisi di mana perempuan bisa bekerja tapi tetap bisa mengurus anak. Saya tak ingin, perempuan menjadi tidak berdaya hanya karena ditinggal suami seperti saya. Itulah yang ingin saya tularkan ke mereka.

Boks: Mengolah Ikan yang Melimpah
            Di tempat kami, tengkulak begitu meraja. Memegang sendi-sendi perekonomian para nelayan. Saya tak berdaya jika harus menghadapi para tengkulak. Namun saya memilih cara menjangkau para istri nelayan, agar tak perlu berhadapan langsung dengan mereka.

            Saya  kemudian mendidik para istri untuk mengolah hasil tangkapan. Selain itu, saya juga mendirikan koperasi Fatima Az-Zahra agar mereka tak perlu lagi berhutang pada tengkulak.

Abon Ikan dan Bandeng Cabut Tulang
Ya, awalnya saya memang melakukan ini semua karena kondisi yang terjepit. Saya harus menghidupi anak-anak. Tak berselang lama paska suami meninggal, seorang teman mengarahkan saya untuk mengikuti suatu kegiatan. Tujuan awalnya, agar saya memiliki kesibukan. Saya pun bergabung dengan koalisi pemberdayaan masyarakat sipil. Di sanalah saya dipertemukan dengan Dinas Perikanan. Ternyata mereka memiliki beberapa pelatihan. Dan saya memilih pelatihan untuk pengolahan hasil laut seperti abon ikan tuna dan bandeng cabut tulang.
Saya berpikir, usaha ini akan berkembang mengingat potensi lokal di sana. Saya juga tidak perlu modal banyak karena ada sumber daya manusia yang besar. Banyak istri nelayan yang mau bekerja. Karena waktu itu tidak memiliki modal cukup, saya hanya mengolah 35 kg saja.
Tahun 2005 saya mulai menjalankan usaha ini, tapi belum produktif. Baru pada tahun 2006, saya memulai produksi abon dan bandeng. Saya mengajak beberapa teman untuk membantu saya, karena tidak mungkin melakukan ini sendiri. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mempelajari ini. Ketika saya cukup mahir, saya mengajak wanita lain untuk melakukan hal yang sama.
Mereka tidak menolak, hanya saja awalnya agak ragu. Apakah akan ada yang membeli abon ikan, karena yang populer hanya abon sapi. Begitu jadi, saya tawarkan ke LSM setempat. Saya menawarkan pada mereka untuk membeli, meski awalnya menolak. Selanjutnya, jika teman-teman di organisasi memiliki kegiatan atau pelatihan di suatu tempat, mereka mengajak kami untuk memajang hasil produksi. Dari situlah, usaha kami mulai dikenal.
Awalnya kami  hanya berlima, kini berkembang menjadi 21 orang. Meski hanya 21, kami memiliki jaringan luas untuk pemasaran, sekitar 219 perempuan. Mereka terdiri dari Majelis Taklim, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Selain itu, seluruh penghasilan kami sisihkan untuk memberi makan lansia dan balita yang kekurangan gizi. Kami tak perlu menunggu dana dari puskesmas setempat. Uangpun kami gunakan untuk menyewa pengacara, untuk mendampingi mereka yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Memperoleh penghargaan wanita inspiratif versi She can! Award

Dirikan Koperasi Fatima Az-Zahra
Saya sering mendengar keluh kesah istri nelayan yang terbeban  karena ulah para tengkulak. Di daerah pesisir, para tengkulak sangat memudahkan untuk meminjam, tapi dengan bunga yang tinggi. Pemerintah melihat, namun seolah menutup mata dan tak berdaya untuk memutus mata rantai ini. Seorang nelayan yang meminjam uang ke tengkulak, harus menjual hasil tangkapannya juga ke tengkulak. Jika menolak, seorang nelayan akan dilarang untuk masuk ke pelelangan ikan, dihajar hingga babak belur, sampai dibunuh. Mereka tak bisa bersembunyi karena tengkulak memiliki jaringan yang memantau gerak-gerik mereka.
Inilah yang menggerakkan saya untuk mendirikan koperasi Fatima Az-Zahra. Seperti kisahnya, Fatima Az-Zahra ialah wanita utama dalam Islam yang patut diteladani. Saya berharap, para istri nelayan bisa meneladani sikap-sikapnya.
Kendala awalnya memang pada dana. Setelah mencari kesana-kemari, terkumpullah dana Rp 6 juta. Di koperasi ini mereka bisa meminjam uang dengan bunga rendah. Mereka bisa terbebas dari cengkeraman tengkulak. Berkat koperasi dan beragam penyuluhan yang kami berikan, kehidupan mereka sudah lebih baik. Mereka tak lagi buta huruf, dan sadar hukum, sehingga KDRT bisa ditekan. Ketika mereka akan memukul anak atau istri, mereka akan berpikir ulang.
Saya bersyukur atas pencapaian saya selama ini. Kini sudah tiga puluh tahun saya menjadi kader PKK. Tak ada rasa letih bagi saya. Dan selama saya mampu, tangan-tangan ini akan terus saya pergunakan untuk mereka.Penghargaan yang saya terima seperti peniti emas dari walikota Makassar untuk pengabdian 25 tahun atau menjadi salah satu wanita inspiratif dalam She Can Tupparware hanya menjadi bonus bagi saya. Selebihnya, saya ingin berkarya. Ingin perempuan di keluarga nelayan bisa sejajar dengan perempuan lain. Sayapun ingin, ketika saya sudah tidak ada, anak-anak saya bisa melanjutkan perjuangan saya.

au revoir.. (Tabloid Wanita Indonesia edisi 1146)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar